Hai kau yang semu.
Hari itu, aku masih ingat tepatnya pertama kali
kita bertemu. Tepatnya pertama kali aku tahu wajahmu. Aku ingat tepatnya
tempat dimana kita bertemu. Tepatnya kapan waktu mempertemukan kita.
Kau tahu semua itu hanya aku tulis dalam rangkaian puisi di dalam buku
diaryku. Ternyata kita hanya bertemu di dalam rangkaian kata-kata
puisiku. Wajahmupun hanya kusketsa di sela-sela puisi yang kutulis.
Sungguh aku melakukannya atas imajiku.
Beribu rangkaian kata kuciptakan untukmu yang semu. Sesuatu yang
kurangkai dalam khayalanku saja. Seperti sebuah ilusi yang tak akan
pernah nyata. Kutulis di dalam lembaran-lembaran kertas tak berdosa. Tak
kutulis namamu. Karena aku berat untuk menulisnya. Wajahmu saja aku tak
tahu, apalagi menuliskan namamu. Namun hanya kutulis bayanganmu di
dalam benakku. Mungkin ini hanya sebuah ilusi. Ilusi yang tak kan
pernah berakhir. Kau tahu, aku berharap ilusi itu menjadi kenyataan.
Yaitu kamu. Kamu yang selama ini hanya tercipta semu dalam rangkaian
kata-kata puisiku.
Gila. Ya, aku memang gila. Gila olehmu yang semu. Mungkin ini yang
ada dalam pikiranku. Dalam otakku yang hanya terbenam kata kamu. Kamu
yang tak berwujud, namun aku tahu suatu saat wujudmu ada di hadirku.
Menemuiku dan memelukku dalam kehangatan yang tulus. Memegang erat
tanganku dalam ketulusan cintamu. Hingga aku menjadi wanita pinanganmu
yang terpilih.
Kamu yang semu, katakan padaku, dimana dirimu berada. Kamu yang
absurd, katakan padaku, siapa namamu. Ketahuilah, aku ingin melihat
kenyataan dirimu. Aku ingin menghapus tirai-tirai yang menghalangiku
untuk melihat nyatanya dirimu. Hari ini juga. Aku tak ingin
berlama-lama. Aku berharap kau tak hanya diam disana. Datanglah dan
bantulah aku menghapus tirai penghalang itu. Aku memohon padamu.
Kau yang semu. Aku pastikan, sebelum kita bertemu, kau akan menerima
surat ini. Serta beribu rangkaian puisi yang kutulis untukmu. Hanya
kamu. Kamu ilusiku yang kutulis dalam puisi-puisiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar